Saturday, December 19, 2009

what a life for...

By W
Sahabatku, lama aku tak menulis untukmu, sejujurnya aku sedang mencari jawaban, pertanyaan yg menggelayuti lubuk hati. Sesungguhnya untuk apa aku ada, dan untuk apa kita banting tulang, jungkir balik, berangkat pagi pulang malam, bahkan kadang2 sama sekali tidak pulang.
Padahal kita makan seberapa? Lauk apapun setelah lewat tenggoroan akan sama rasanya. (tapi maaf, untuk sekarang kalau nggak enak nggak bisa). Tidurpun kita hanya selebar punggung, dan kalau kita pulang nanti, kitapun tidak membawa apa2. Terus untuk apa?
Sahabatku, pertanyaan ini muncul setelah melalui hari2 yg aneh. Suatu waktu aku berjumpa seorang bapak2. Beliau menderita stroke, sehingga jalannya pun nggak sempurna. Beliau berjumpa dengan seorang peminta2. Beliau merogoh sakunya tercabutlah uang 20 ribu, diberikan pada pengemis itu. Padahal aku tau beliau banyak membawa uang receh. Aku bertanya, "Pak, apakah tidak kebanyakan". Beliau menjawab, "itu rejeki dia".
Dilain waktu aku sedang berbincang dengan beliau, datang lagi peminta-minta yg lain. Beliau mengeluarkan seluruh isi kantongnya. Dari 50 ribuan sampai ribuan. Pengemis disuruh mengambil salah satu. SUBCHANALLOH, pengemis hanya mengambil selembar ribuan. YA ALLOH, apa ini artinya!
Aku banyak belajar hidup dari bapak tua tadi, yg intinya kita harus mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri. Beliau memberi contah sepanjang hidupnya. Sebagai seorang wakil gubernur Sumbar, dan ketua Golkar Sumbar Riau. Dia tidak pernah mengurus golongan pangkatnya, sampai pensiun tetap golongan 3b. Padahal harus menghidupi istri 10 anak .Beserta 5 keponakanya. Istrinya cerita kalau terima gaji, beli beras sebulan, dan bayar sekolah anaknya uang itu habis. Belum buat ongkos beli lauk,dll sama sekali tidak ada. Tapi entah karena apa, selalu saja ada rizki sehingga kebutuan sehari2 tercukupi. Sekarang 10 anaknya sdh menjadi sarjana. Salah satunya menjadi direktur Telkomsel.
Kalau kita jabarkan dengan matematika tak akan pernah bersua.
Aku bertanya pada beliau, apa rahasianya? Beliau menjawab: Serahkan semua pada ALLAH, karena semua milikNYA. Memangnya diri kita punya kita? Anak2 kita punya kita? Bukan lanjut beliau. Pada intinya beliau mengajarkan hidup dengan kepasrahan total. Sesuai dengan bacaan solat kita sebelum membaca Alfatichah.

Sholatku, ibadahku, hidup dan matiku cuma untuk ALLOH semata. Ya... Semua agama mengajarkan, ilmu tertinggi didunia adalah kepasrahan secara total. Sahabatku, kau ingin hidup bahagia? Renungkan syair dari Tao tek keng, yg diciptakan 2000 SM.


----------------------------

Sahabatku, bukan maksudku memberi nasihat, apa lagi wejangan. Jalanku sendiripun belum lurus. Nafsu, angkara masih sering mengotori otakku, mengalir bersama darah, membakar seluruh tubuhku. Apa lagi ini Jakarta, dimana hampir semua berjalan dengan menghalalkan segala cara. Sahabatku, jalanku terlalu licin, yg kudaki terlalu terjal jika tak hati2 akan terjatuh dan merasakan panasnya api neraka.

No comments:

Post a Comment

Blogger templates